Minggu, 12 September 2010

CIKAL BAKAL KELAHIRAN ILMU NAHWU

1

Kholisin
Abstracts: In its historical perspective, ilmu nahwu or Arabic grammar
has sparked great interest among Arab (traditional) linguists. This
is particularly shown by the following facts: the proliferation of numerous
grammatical schools in every generation, the fame of many
scholars in each grammatical school, and the abundance of monumental
works written by the scholars in each generation. The city of Bashrah
used to be the place where Arabic grammar was born; it was in
this city that Arabic grammar first came into being and grew up into
its mature development. Abu al-Aswad ad-Du ali was believed to be
the founding father of Arabic grammar, working under the supervision
of Ali bin Abi Thalib. His initial efforts were then taken up and made
into great progress by earlier scholars who set up the first hallmark of
Arabic grammar, such as Ibnu Abi Ishaq, Isa bin Umar, Abu Amr bin
al- Ala , Yunus bin Hubaib.
Key words: ilmu nahwu (Arabic grammar), Bashrah, nahwu of the
earliest period.
Ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya sampai
sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan
para pakar linguistik bahasa Arab. Sebagai salah satu cabang linguistik
(ilmu lughah), Ilmu Nahwu dapat dipelajari untuk dua keperluan. Pertama,
Ilmu Nahwu dipelajari sebagai prasyarat atau sarana untuk mendalami
bidang ilmu lain yang referensi utamanya ditulis dengan bahasa Arab,
misalnya Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Ilmu Fiqih. Kedua, Ilmu Nahwu
dipelajari sebagai tujuan utama (sebagai spesialisasi Linguis-
Kholisin adalah dosen Jurusan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.
2 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003
tik bahasa Arab). Dua bentuk pembelajaran (learning) Ilmu Nahwu itu
telah menjadi tradisi yang berkembang secara berkesinambungan di
kalangan masyarakat Arab (Islam) dahulu sampai sekarang. Hampir
semua pakar agama Islam sejak akhir abad kesatu Hijriah sampai sekarang
mempunyai penguasaan yang baik terhadap Ilmu Nahwu. Bahkan tidak
jarang dari mereka yang menjadi pakar dalam bidang nahwu di samping
kepakaran mereka dalam bidang agama. Sebagai contoh, Imam Ibnu
Katsir, An-Nawawi, Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Hisyam, dan Az-
Zamakhsyari adalah tokoh-tokoh handal dalam bidang ilmu agama, dan
pada saat yang sama kepakaran mereka dalam bidang Ilmu Nahwu juga
diakui di kalangan ulama. Di Indonesia, tokoh-tokoh agama semisal
Syekh Nawawi Banten, Buya Hamka, Prof. Mahmud Yunus, dan K.H.
Bisri Musthafa juga mempunyai penguasaan nahwu yang mendalam,
bahkan rata-rata mereka telah menulis atau menerjemahkan lebih dari
satu judul buku tentang nahwu. Sementara itu, tokoh-tokoh nahwu seperti
Imam Sibawaih, Al-Farra', Ibnu Jinny, dan Ibnu Yaisy, lebih dikenal
sebagai pakar dalam bidang Ilmu Nahwu.
Al-Fadlali (1986) dalam bukunya Mara:kizud-Dira:sat an-
Nahwiyyah membagi perkembangan Ilmu Nahwu secara kronologis
berdasarkan kurun waktu dan peta penyebarannya. Di bagian akhir
bukunya dia membuat skema perkembangan Ilmu Nahwu sebagai berikut.
Tabel 1. Peta Perkembangan Ilmu Nahwu
Pusat Perkembangan Abad Hijriah ke
Bashrah, Mekah, Medinah
Kufah, Baghdad, Mushal, Irbal, Andalus 1
Marocco, Persi 2
Mesir 3
Damaskus, Haleb 4
Nejed, Yaman 5
Hulah, Eropa 6
India 7
Romawi 8
Rusia, Amerika, Afrika non-Arab 14
Dari peta di atas tampak bahwa Al-Fadlali tidak memasukkan
negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia dalam peta
Kholisin, Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu 3
perkembangan nahwu. Padahal bagaimanapun juga di negara-negara itu
perkembangan nahwu cukup pesat. Di samping itu, ia juga tidak
mengemukakan alasan mengapa ia langsung melompat dari abad ke 8
menuju abad ke14 dengan mengabaikan lima abad yang ada di antaranya.
Namun, terlepas dari kekurangannya, bagan tersebut cukup berarti dalam
memberikan gambaran secara global tentang peta perkembangan Ilmu
Nahwu.
Sementara itu, Dlaif (1968) membagi perkembangan Ilmu Nahwu
berdasarkan aliran-aliran (madzhab) dengan menyebutkan sejumlah tokoh
yang dominan pada setiap aliran. Ia menyebutkan secara kronologis lima
aliran nahwu sebagai berikut. (1) aliran Bashrah, (2) aliran Kufah, (3)
aliran Baghdad, (4) aliran Andalusia, dan (5) aliran Mesir. Dua aliran
pertama, Bashrah dan Kufah, disebutnya sebagai aliran utama, karena
keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang tinggi, kedua aliran
tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik, sehingga
mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain
disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran
utama atau merupakan hasil paduan antara keduanya.
Di Indonesia, sejalan dengan perkembangan agama Islam, Ilmu
Nahwu juga banyak dipelajari. Akan tetapi, pembelajaran nahwu di
Indonesia lebih banyak sebagai alat (untuk mempelajari bahasa Arab) dan
bukan sebagai tujuan. Karena itu, referensi yang banyak dipelajari adalah
buku-buku yang bersifat praktis dan textbook oriented yang substansinya
mengacu pada peran nahwu sebagai alat bantu pembelajaran agama
(Islam), sementara buku-buku yang bersifat historis teoretis cenderung
kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
referensi nahwu yang banyak ditemukan di pesantren-pesantren maupun
di kalangan perguruan tinggi Islam adalah buku-buku semacam Al-
Ajrumiyyah dengan berbagai syarah1-nya, Alfiyah Ibnu Malik dengan
berbagai syarahnya, dan Al-'Umrithiy. Sementara, buku-buku yang
banyak menyinggung aspek historis seperti Sirru Shina'atil I'rab karya
Ibnu Jinny, Al-Mazhar karya Jalaluddin Assuyuthi, dan Mizanudz Dzahab
1 Syarah adalah kitab perluasan dari matan. Matan adalah karya orisinil yang ditulis
oleh seorang ulama yang biasanya bersifat ringkas dan padat isi, sedangkan
syarah berfungsi memperjelas atau memperluas keterangan kata-kata, kalimat
atau wacana yang ada pada matan.
4 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003
karya Ibnu Hisyam kurang populer.
Bagi para linguis bahasa arab, atau pemerhati Ilmu Nahwu pada
khususnya, pembelajaran nahwu dari perspektif sejarah merupakan suatu
hal yang penting untuk dilakukan, karena dengan itu cakrawala mereka
tentang dinamika Ilmu Nahwu menjadi lebih luas dan pada akhirnya
dalam diri mereka akan tumbuh toleransi yang tinggi terhadap perbedaanperbedaan
yang ada. Selain itu, karya-karya monumental para pakar Ilmu
Nahwu sejak abad permulaan sampai pertengahan abad 20 M itu ada
khazanah yang terlalu mahal untuk disia-siakan.
Atas dasar kenyataan dan alasan diatas, pada kesempatan ini penulis
memaparkan secara global dinamika Ilmu Nahwu pada abad permulaan.
Paparan itu mencakupi cikal bakal Ilmu Nahwu, Bashrah sebagai kota
kelahiran Ilmu Nahwu, dan tokoh-tokoh pemrakarsa Ilmu Nahwu.
CIKAL BAKAL ILMU NAHWU
Hampir semua pakar linguistik Arab bersepakat bahwa gagasan awal
yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Nahwu muncul dari Ali bin
Abi Thalib saat beliau menjadi khalifah. Gagasan ini muncul karena
didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor agama dan faktor sosial
budaya (Dlaif, 1968:11; Al-Fadlali, 1986:5). Yang dimaksud faktor agama
di sini terutama adalah usaha pemurnian Al-Qur'an dari lahn (salah baca).
Sebetulnya, fenomena lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad
masih hidup, tetapi frekuensinya masih jarang. Dalam sebuah riwayat dikatakan
bahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa) dihadapan
Nabi, maka beliau berkata kepada para sahabat: "Arsyidu: akha:kum
fa innahu qad dlalla" (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah
tersesat). Perkataan dlalla 'tersesat' pada hadits tersebut merupakan peringatan
yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha'a
'berbuat salah' atau zalla 'keseleo lidah'. Dalam riwayat lain dikatakan
bahwa salah seorang gubernur pada pemerintahan Umar bin Khattab
menulis surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar
membalasnya dengan diberi kata-kata "qanni' kita:bak sawthan" 'berhatihatilah
dalam menulis' (Abul Fath, tanpa tahun). Lahn itu semakin lama
semakin sering terjadi, terutama ketika bahasa Arab telah mulai menyebar
ke negara-negara atau bangsa-bangsa lain non-Arab. Pada saat itulah mulai
terjadi akulturasi dan proses saling mempengaruhi antara bahasa Arab
Kholisin, Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu 5
dan bahasa-bahasa lain. Para penutur bahasa Arab dari non-Arab sering
kali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan
akan terjadi juga pada waktu mereka membaca Al-Qur'an.
Dari sisi sosial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan
dan fanatisme yang tinggi terhadap bahasa yang mereka miliki. Hal ini
mendorong mereka berusaha keras untuk memurnikan bahasa Arab dari
pengaruh asing. Kesadaran itu semakin lama semakin mengkristal, sehingga
tahap demi tahap mereka mulai memikirkan langkah-langkah
pembakuan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah. Selanjutnya, dengan prakarsa
Khalifah Ali dan dukungan para tokoh yang mempunyai komitmen
terhadap bahasa Arab dan Al-Qur'an, sedikit demi sedikit disusun kerangka-
kerangka teoritis yang kelak kemudian menjadi cikal bakal pertumbuhan
Ilmu Nahwu. Sebagaimana terjadi pada ilmu-ilmu lain, Ilmu
Nahwu tidak begitu saja muncul dan langsung sempurna dalam waktu
singkat, melainkan berkembang tahap demi tahap dalam kurun waktu
yang cukup panjang.
PELETAK DASAR ILMU NAHWU
Mengenai tokoh yang dapat disebut sebagai peletak batu pertama
Ilmu Nahwu, ada perbedaan dikalangan para ahli. Sebagian ahli mengatakan,
peletak dasar Ilmu Nahwu adalah Abul Aswad Ad-Du'ali. Sebagian
yang lain mengatakan, Nashr bin 'Ashim. Ada juga yang mengatakan,
Abdurrahman bin Hurmus (Dlaif, 1998:13). Namun, dari perbedaanperbedaan
itu pendapat yang paling populer dan diakui oleh mayoritas ahli
sejarah adalah Abul Aswad. Pendukung pendapat ini dari golongan ahli
sejarah terdahulu antara lain Ibnu Qutaibah (wafat 272 H), Al-Mubarrad
(wafat 285 H), As-Sairafiy (wafat 368 H), Ar-Raghib Al-Ashfahaniy (502
H), dan As-Suyuthiy (wafat 911 H), sedangkan dari golongan ahli nahwu
kontemporer antara lain Kamal Ibrahim, Musthofa As-Saqa, dan Ali an-
Najdiy Nashif (Al-Fadlali, 1986:9-17). Penokohan Abul Aswad ini didasarkan
atas jasa-jasanya yang fundamental dalam membidani lahirnya
Ilmu Nahwu.
Abul Aswad Ad-Du'ali (wafat 69 H) adalah orang pertama yang
mendapat kepercayaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib untuk menangani
dan mengatasi masalah lahn yang mulai mewabah di kalangan masyarakat
awam. Ali memilihnya untuk hal itu karena ia adalah salah seorang pen6
BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003
duduk Bashrah yang berotak genius, berwawasan luas, dan berkemampuan
tinggi dalam bahasa Arab (Al-Fadlali, 1986:8). Dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa suatu ketika, Abul Aswad melihat Ali sedang
termenung memikirkan sesuatu, maka ia mendekatinya dan bertanya:
"Wahai Amirul Mu'minin! Apa yang sedang engkau pikirkan?" Ali menjawab:
"Saya dengar di negeri ini banyak terjadi lahn, maka aku ingin
menulis sebuah buku tentang dasar-dasar bahasa Arab". Setelah beberapa
hari, Abul Aswad mendatangi Ali dengan membawa lembaran yang bertuliskan
antara lain:
"Bismillahir rahma:nir rahi:m. Al-kala:mu kulluhu ismun wafi'lun wa
harfun. Fal ismu ma: anba?a 'anil musamma:, wal fi'lu ma: anba?a
'an harakatil musamma:, wal harfu ma: anba?a 'an ma'nan laisa bi
ismin wala: fi'lin".
'dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang. Ujaran itu
terdiri dari isim, fi'il dan harf. Isim adalah kata yang mengacu pada sesuatu
(nomina), fi'il adalah kata yang menunjukkan aktifitas, dan harf
adalah kata yang menunjukkan makna yang tidak termasuk kategori
isim dan fi'il'.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa suatu ketika Abul Aswad
mendengar seorang membaca ayat Al-Qur'an: "Inna AIla:ha bari:un minal
mu'mini:na warasu:lihi" dengan mengkasrah lam dari kata rasu:lihi,
padahal seharusnya didlammah. Atas kejadian itu dia kemudian meminta
izin kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur Bashrah, untuk menulis buku tentang
dasar-dasar kaidah bahasa Arab (Dlaif, 1968:15). Ibnu Salam (tanpa
tahun) dalam kitabnya Thabaqa:tu Fuhu:lisy Syu'ara:" mengatakan bahwa
Abul Aswad adalah orang pertama yang meletakkan dasar ilmu bahasa
Arab. Hal itu dilakukannya ketika ia melihat lahn mulai mewabah di
kalangan orang arab. Dia menulis antara lain bab fa:'il, maf'ul, harf jar,
rafa', nashab, dan jazm."
Berbagai riwayat dengan berbagai sumber banyak sekali disebutkan
oleh para ahli dalam rangka mendukung Abul Aswad seagai tokoh peletak
dasar Ilmu Nahwu. Namun demikian, diantara riwayat-riwayat itu masih
banyak yang diperdebatkan keabsahannya. Satu riwayat yang cukup populer
dan diakui keabsahannya oleh para ahli adalah bahwa Abul Aswad berjasa
dalam memberi syakal (tanda baca) pada mushaf Al-Qur'an. SebaKholisin,
Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu 7
gaimana diketahui pada mulanya tulisan Arab itu tidak bertitik dan tidak
menggunakan tanda baca. Tidak ada tanda pembeda antara huruf dal dan
dzal, antara huruf sin dan syin, dan sebagainya. Juga tidak ada perbedaan
antara yang berbaris /a/, /i/, dan /u/. Demikian juga tulisan yang ada pada
mushaf Al-Qur'an, sehingga banyak orang yang keliru dalam membaca
Al-Qur'an, terutama umat Islam non-Arab (Umam, 1992). Lama kelamaan,
karena khawatir kesalahan itu akan semakin mewabah, Ziad bin
Abi Sufyan meminta Abul Aswad untuk mencari solusi yang tepat. Berangkat
dari permintaan itu akhirnya Abul Aswad menemukan jalan, yaitu
dengan memberi tanda baca dalam Al-Qur'an. Dengan tinta yang warnanya
berlainan dengan tulisan Al-Qur'an. Tanda baca itu adalah titik
diatas huruf untuk fathah, titik dibawah huruf untuk kasrah, dan titik di
sebelah kiri atas untuk dlammah. Karena tanda baca itu berupa titik-titik,
maka dikenal dengan sebutan naqthul i'rab (titik penanda i'rab) (Sirajuddin,
1992:33).
BASHRAH SEBAGAI KOTA KELAHIRAN ILMU NAHWU
Atas jasanya dalam memberi tanda baca mushaf Al-Qur'an itu Abul
Aswad kemudian dikenal sebagai peletak dasar ilmu I'rab, dan setelah itu
banyak orang yang datang kepadanya untuk belajar ilmu qira'ah dan
dasar-dasar ilmu i'rab. Dia melaksanakan pengajaran itu di masjid Jami'
Bashrah. Dari sinilah awal mula kota Bashrah dikenal sebagai kota kelahiran
Ilmu Nahwu. Banyak murid yang berhasil dan kemudian menjadi generasi
penerus yang mengembangkan gagasan-gagasan yang telah dirintisnya,
diantaranya adalah Anbasah bin Ma'dan yang dikenal dengan panggilan
Anbasah Al-fil, Nashr bin 'Ashim al-Laitsiy (wafat 89H), dan Yahya
bin Ya'mur Al-Adwaniy (wafat 129 H). Anbasah kemudian mempunyai
seorang murid yang banyak berpengaruh dalam pengembangan Ilmu
Nahwu yaitu Maimun Al-Aqran (Al-Fadlali, 1986:26).
Perkembangan Ilmu Nahwu yang sempat dicapai pada masa Yahya
bin Ya'mur dan Nashr bin Ashim antara lain adalah: (1) pembakuan sebagian
istilah nahwu, seperti rafa', nasab, jar, tanwin, dan i'rab, (2) perluasan
beberapa pokok bahasan nahwu, (3) mulai dipakainya pendekatan
nahwiyyah dalam pembahasan masalah-masalah ilmiyah di kalangan para
ulama, dan (4) mulai bermunculannya karangan-karangan dalam bidang
Ilmu Nahwu, sekalipun masih belum berbentuk buku. Di samping itu,
8 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003
dikenalnya kota Bashrah dengan kota kelahiran nahwu juga karena kota
ini selalu menjadi pusat kegiatan pengajian dan penelitian di bidang itu.
Para ahli nahwu setelah generasi Yahya dan 'Ashim, seperti Ibnu Abi
Ishaq (wafat 117 H) dan Abu "Amr bin Al-'Ala' (wafat 154 H) selalu getol
dalam mengkaji dan meneliti berbagai masalah yang berkaitan dengan
nahwu. Merekalah yang mula-mula mengembangkan metode induksi dan
deduksi serta analogi dalam penyusunan Ilmu Nahwu. Untuk mengumpulkan
data penelitian itu mereka tidak segan-segan melanglang buana ke
berbagai penjuru jazirah Arab yang bahasanya masih dianggap murni ,
seperti Nejed, Hijaz, dan Tihamah. Dari daerah-daerah itu mereka pilih
kabilah-kabilah yang benar-benar kuat dalam memegang kemurnian bahasa,
seperti kabilah Tamim, Qais, Asad, Thayyi', dan Hudzail. Disamping
itu, dalam melakukan analogi mereka tidak segan-segan merujuk pada
sumber utama ilmu bahasa Arab yaitu Al-Qur'an. Mereka tidak merujuk
pada Hadits Nabi dalam melakukan analogi, karena pada waktu itu hadits
belum dibukukan.
Jika demikian itu keadaan di kota Bashrah, maka tidak demikian apa
yang terjadi di kota Kufah (yang pada akhirnya juga dikenal dengan
aliran nahwunya). Di saat Bashrah sedang gencar-gencarnya mengkaji dan
membahas berbagai hal yang berkaitan dengan Ilmu Nahwu, sampai pertengahan
akhir abad kedua Hijriah, Kufah masih berkutat pada pembacaan
Al-Qur'an dan pengumandangan syair dan prosa. Dalam hal ini Ibnu
Salam berkata: "Bashrah lebih dahulu menaruh perhatian terhadap kaidahkaidah
bahasa Arab" (Ibnu Salam, tanpa tahun:12). Senada dengan itu,
Ibnu Nadim(dalam Dlaif, 1968:20) mengatakan: "Saya lebih mengutamakan
pendapat ulama Bashrah, karena dari merekalah Ilmu Nahwu
mula-mula dipelajari"
Kemajuan Bashrah dalam bidang Ilmu Nahwu itu juga tidak terlepas
dari perannya dalam bidang sosial budaya. Bashrah pada saat itu merupakan
pusat perdagangan negara Iraq, sehingga kota itu banyak menerima
pertukaran budaya dengan negara-negara asing. Selain itu, dibandingkan
dengan Kufah, Bashrah juga lebih dekat ke Jundaisabur, Persi yang saat
itu merupakan pusat pengkajian budaya dan filsafat Yunani, Persi, dan
Hindia. Oleh karena itu pemikiran Bashrah secara umum lebih mendalam
dari pada pemikiran kufah, dan lebih siap untuk mengkaji dan mengkonstruksi
berbagai macam ilmu.
Kholisin, Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu 9
TOKOH-TOKOH NAHWU BASHRAH GENERASI PERTAMA
Sekalipun Abul Aswad Ad-Du'ali berjasa dalam memberi syakal Al-
Qur'an, dia belum dapat dikatakan sebagai tokoh sejati dalam bidang Ilmu
Nahwu, karena yang ia lakukan itu semata-mata usaha pengalihan kode
bunyi vokal yang sudah ada ke dalam bentuk tulisan (berupa titik), dan belum
sampai pada pembentukan kaidah-kaidah Ilmu Nahwu. Demikian
juga, apa yang dilakukan oleh Yahya bin Ya'mur dan Nashr bin 'Ashim.
Mereka masih membentuk beberapa istilah dan belum sampai pada generalisasi
kaidah-kaidah. Tokoh nahwu generasi pertama yang sejati menurut
Dlaif (1968:22-23) adalah Ibnu Abi Ishaq, kemudian ketiga muridnya, Isa
bin Umar, Abu Amr bin Al-'Ala', dan Yunus bin Hubaib (Dlaif 1968:22).
Ibnu Abi Ishaq
Ia adalah Abdullah bin Ishaq (wafat 117H). Dialah orang yang pertama
merumuskan kaidah-kaidah nahwu, menerapkan prinsip-prinsip
analogi, dan menerangkan berbagai alasan secara linguistis. Kepeduliannya
terhadap prinsip analogi tidak hanya ia terapkan pada masalahmasalah
nahwu, tetapi juga ia tanamkan pada pola berpikir muridmuridnya.
Dengan metode ini ia banyak menentang Farazdaq, seorang
penyair ulung yang dinilainya banyak menyalahi kaidah bahasa Arab.
Misalnya, ia menyalahkan Farazdaq dalam syairnya:
"wa 'adldlu zama:nin ya bna marwa:na lam yada'
minal ma:li illa: mus-hatan aw mujarrafu".
Kata mujarrafu (berakhir vokal /u/ karena dibaca rafa') menurutnya
tidak benar , karena menyalahi kaidah nahwu. Kata itu seharusnya di baca
mujarrafa (berakhir vokal /a/ atau nashab) karena diathafkan pada
mushatan. Dengan penentangannya itu ia ingin menunjukkan bahwa seorang
penyair, bagaimanapun fasihnya, tidak boleh seenaknya menyalahi
kaidah nahwu.
Keteguhannya berpegang pada analogi (qiyas) membuatnya tidak takut
untuk kadang-kadang bertentangan dengan jumhurul qurra' (para ahli
baca Al-Qur'an). Sebagai contoh ia berbeda dengan mereka dalam membaca
ayat "as sa:riqu was sa:riqatu faqtha'u: aydiya huma:.....". Para
qurra' membaca as sa:riqu was sa:riqatu dengan rafa' sebagai mubtada'
10 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003
'subjek', yang khabar 'predikat'-nya berupa klausa faqtha'u: aydiya huma,
sedangkanIbnu Abi Ishaq membacanya dengan nashab " as sa:riqa
wassa:riqata" sebagai maf'ul bih 'objek pelengkap'.
Sampai pada akhir hayatnya Ibnu Abi Ishaq tidak meninggalkan satu
buku pun tentang nahwu. Ilmu yang berharga itu ia sampaikan kepada
murid-muridnya secara lisan saja melalui muhadlarah-muhadlarah (kuliah-
kuliah) dan pengajian-pengajian di berbagai tempat.
Isa bin Umar Ats-Tsaqafiy
Ia seorang penduduk Basrah yang lahir di daerah Tsaqi:f, dan oleh
karena itu dipanggil dengan gelar Ats-Tsaqafiy. Ia salah seorang murid
dari Ibnu Abi Ishaq. Seperti gurunya, ia menjunjung tinggi prinsip analogi
dan berusaha menerapkannya dalam menghadapi berbagai persoalan yang
berkaitan dengan tata bahasa. Ia banyak mengkritik syair-syair yang menyalahi
kaidah nahwu, baik syair yang ditulis oleh orang semasanya maupun
oleh para pendahulunya, bahkan syair-syair jahiliy seperti karya
Nabighah Adz-Dzubyani. Dalam beberapa bacaan Al-Qur'an ia juga berbeda
pendapat dengan kebanyakan ulama, seperti pada ayat "Ha:?ula:?i
bana:tiy hunna athharu lakum". Jumhur ulama membaca rafa' kata athharu
sebagai khabar dari kata hunna, sedangkan ia membaca nashab kata
tersebut sebagai hal dan menjadikan hunna sebagai dlamir fashl.
Pengaruh lain yang nyata dirasakan oleh muridnya, seperti Khalil bin
Ahmad dan generasi sesudahnya, adalah ide tentang taqdi:rul 'awa:mil almakhdzu:
fah ( adanya unsur yang terdelisi dari struktur lahir kalimat). Isa
bin 'Umar telah meletakkan dasar penting yang menunjukkan kedalaman
rasa bahasanya. Ia memilih menashabkan kata-kata yang di kalangan
orang Arab menjadi perdebatan; apakah kata itu dibaca nashab atau dibaca
rafa'. Ia seakan merasakan dengan jelas bahwa orang Arab lebih
senang nashab dari pada rafa' karena lebih ringan secara fonologis.
Isa bin Umar kembali ke hadapan Tuhan dengan meninggalkan beberapa
karya penting dalam bentuk risalah dan karangan, antara lain "Al-
Ja:mi'" dan "Al-Ikma:l". Karya yang pertama memuat masalah-masalah
dan kaidah-kaidah nahwu, sedangkan yang kedua merupakan penyempurnaan
dari yang pertama (Dlaif, 1968:27).
Kholisin, Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu 11
Abu Amr bin Al-'Ala'
Ia lahir di Mekah pada tahun 70 H dan dibesarkan di Bashrah serta
menetap disana sampai meninggal pada tahun 154 H. Ia juga termasuk
salah satu murid dari Ibnu Abi Ishaq. Hanya saja, disamping dikenal sebagai
ahli nahwu, ia dikenal sebagai ahli bacaan Al-Qur'an, penyair dan ahli
perhitungan hari dan tanggal (hisab). Ketenarannya sebagai salah satu
qurra:?ul qur?an as-sab'ah (tujuh orang yang dijadikan panutan dalam
membaca Al-Qur'an) hampir mengalahkan ketenarannya sebagai ahli
nahwu. Oleh karena itu Imam Sibawaih tidak meriwayatkan dari padanya
masalah-masalah nahwu, kecuali beberapa masalah yang berkaitan dengan
data kebahasaan secara umum. Namun demikian, dia juga meninggalkan
beberapa gagasan nahwu yang orisinil, seperti pendapatnya tentang
nashabnya kata rajulan dalam kalimat habbadza: muhammadun rajulan.
Menurutnya kata rajulan itu dinashabkan karena menjadi hal, bukan tamyiz
sebagaimana pendapat umum ahli nahwu.
Yunus bin Hubaib
Ia lahir pada tahun 94 H dan wafat pada tahun 182 H. Dalam
umurnya yang cukup panjang itu berkesempatan melanglang buana dalam
rangka memperdalam ilmu tentang bahasa Arab secara umum. Ia sempat
berguru pada Ibnu Ishaq, Isa bin Umar, dan Abu Amr. Ia juga sempat
tinggal beberapa lama di kalangan suku badui. Pengalamannya yang beragam
itu mengantarkannya menjadi ahli bahasa dan dialek yang terkenal.
Ia juga menyusun beberapa karangan tentang kebahasaan. Halaqah yang
diadakannya di Bashrah banyak diikuti oleh masyarakat dari berbagai penjuru
kota itu. Dari halaqahnya itu terlahir beberapa ahli nahwu besar, misalnya
Abu Ubaidah dan Sibawaih. Dalam bukunya yang terkenal, "Al-
Kita:b", Sibawaih bahkan sering menyebut namanya. Akan tetapi penyebutan
itu kebanyakan berkaitan dengan data kebahasaan, dan bukan dengan
pendapatnya tentang nahwu, karena dengan masalah nahwu Sibawaih
lebih cenderung pada pendapat Al-Khalil bin Ahmad.
Dalam perkembangan selanjutnya, pendapat-pendapat Yunus dalam
masalah nahwu kurang populer, karena banyak berbeda dengan pendapat
Al-Kholil dan muridnya, Sibawaih yang kelak menjadi panutan bagi generasai
sesudahnya. Diantara pendapat Yunus yang berseberangan dengan
12 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003
pendapat Sibawaih adalah masalah afiksasi (ziyadah) pada kata seperti
/qassama/. Menurut Yunus sisipan yang ada pada kata tersebut adalah /s/
yang pertama, sementara Sibawaih berpendapat sebaliknya, yaitu /s/
kedua yang merupakan imbuhan.
PENUTUP
Dalam rangka memperluas wawasan tentang perkembangan Ilmu
Nahwu, seorang linguis tidak bisa terlepas dari kajian historis. Para ulama
terdahulu telah meninggalkan begitu banyak warisan berharga dalam
bidang Ilmu Nahwu dan perkembangannya. Usaha yang telah dirintis oleh
para ahli generasi pertama disambut dan ditindak lanjuti oleh generasai
sesudahnya, sehingga kajian nahwu itu selalu berkesinambungan bak rantai
yang tiada putus-putusnya. Hal itu dibuktikan oleh tumbuhnya aliranaliran
besar dalam bidang Ilmu Nahwu dari masa-kemasa, seperti aliran
Bashrah, aliran Kuffah, aliran Baghdad, aliran Andalus, dan aliran Mesir.
Di samping aliran-aliran itu, sejarah juga mencatat nama-nama besar
yang menjadi simbol bagi setiap aliran. Dari aliran Bashrah tercatat namanama
seperti Abul Aswad, Al-Khalil, dan Sibawaih. Dari aliran Kuffah
ada Al-Kisa'i, dan Tsa'lab. Sementara itu dari Baghdad nama Abu Ali Alfarisi,
Ibnu Ginniy, dan Az-Zamakhsyari merupakan tokoh yang tak pernah
terlupakan. Demikian juga dari aliran-aliran lainnya.
DAFTAR RUJUKAN
Abul Fath, Utsman bin Jinniy. 1985. Sirru Shina'ati I'rab.Tahqi:q. (penyunting)
Hasan Handawi. Damaskus: Darul Qalam
Abul Fath, Utsman ibn Jinniy. 1985. Al-Khasha'ish. Tahqiq: Muhammad Ali Annajjar.
Darul Huda
Al-Fadlali, Abdul Hadi. 1986. Mara:kizud Dira:satin Nahwiyyah. Bairut:
Maktabah Al-Manar
Dlaif, Syauqi. 1968. Al-Mada:risun Nahwiyyah. Mesir: Darul Ma'arif.
Ibnu Salam. Tanpa tahun. Thabaqa:tu Fuhu:lisy Syu'ara:'. Mesir Daru Ma'arif.
Sirajuddin, D. 1992. Dinamika Kaligrafi Islam. Terjemahan dari Ruhul Khaththil
'Arabi oleh Kamil Al-Baba. Jakarta: Darul Ulum Press.
Umam, Chatibul. 1992. Imam Al-Khalil Al-Farahidi Gudang Ilmu Yang Terlupakan.
Pidato ilmiyah disampaikan pada upacara pengukuhan Guru Besar
Kholisin, Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu 13
tetap dalam Bahasa Arab Fakultas Adab IAIN Syarif Hiyatullah Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar